Breaking News

KEKUATAN YANG BERASAL DARI KETERBATASAN

Foto Miss Juwita Bersama Keluarga




Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi mimpimu. Kalimat yang ku sadur dari novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata inilah yang mengubah hitungan hidup ku dari 0 lagi.  Namun kali ini berbeda, bilangan 0 ini tak berputar.  Namun mengular bagai anak tangga, menghantarkan langkahku ke bilangan selanjutnya 1, 2 3.  Dari sinilah kisah ini dimulai.
Namaku ida, anak seorang buruh tani di sebuah desa di ujung kabupaten Lampung Timur.  Tahun 2014 menjadi tahun penuh langkah, keringat, dan air mata bagiku, karena di tahun inilah untuk pertama kalinya kaki ku melangkah menanjak, langkah yang tak lagi sama seperti tahun tahun sebelumnya.  Ah, ini mungkin akan berat!.
Teng teng teng...
Bel masuk sekolah berbunyi.  Waktunya pelajaran matematika, mata pelajaran yang sangat ku sukai.  Bukan karena aku suka menghitung, bukan pula karena aku seorang yang genius. Hanya saja, seorang guru berjilbab lebar dan berkacamata akan memasuki kelas dengan anggun dan tersenyum ramah menyapa kami. Beliau lah alasanku menyukai mata pelajaran rumit ini.
Namanya miss juwita. Guru yang penuh dedikasi. Bukan hanya caranya mengajar yang menyenangkan, namun kepribadiannya juga yang membuatnya diidolakan.  Beliau lah yang pertama kali mendorongku untuk berani bermimpi. Tidak! Tidak hanya mimpi kecil sekedar makan es krim, namun juga mimpi besar yang sulit namun mampu menghantarkanku ke jalan penuh bunga.  Mimpi untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Menjadi mahasiswa adalah salah satu mimpi yang berani aku tumbuh kembangkan, dan diam diam ku tulis dalam 100 daftar impian.  Ku tempelkan di balik pintu dan kubaca setiap pagi dan petang, macam membaca Al-matsurat.
Tolong, jangan lagi menyuruh ku berkaca.  Tolong jangan lagi menyuruhku untuk sadar diri. Jangan racuni orang tuaku lagi dengan kata kata psimis itu.  Apa salahnya seorang anak buruh tani bermimpi?, aku hanya ingin sekolah bagaimanapun kondisinya.  Apakah itu tidak boleh? Apakah hanya orang kaya yang boleh melanjutkan kuliah? !!!.  Kata kata itu yang selalu aku teriakkan dalam hati ketika tetangga mulai membicarakan tentang status sosial dan pendidikan.  Lingkungan hidup yang tak mendukung memang terkadang menyulitkan kita untuk berkembang, namun tekad ku sudah bulat.
Ayah ku memang tak punya uang, untuk ku melanjutkan kuliah.  Sekedar untuk melanjutkan SMA saja aku harus ikut banting tulang, itupun masih mendapatkan bantuan dari adik adik ayah.  Aku sangat beruntung memiliki keluarga yang pengertian.  Karena tak ingin membebani ayah dan keluarga ku, aku tak menyampaikan kepada orang tua ku jika aku mendaftar kuliah.
Dan hari H itu dimulai.
Bersama beberapa teman aku mulai mengumpulkan berkas berkas yang aku butuhkan, sering kali aku harus berjalan kaki berkilo kilo meter sekedar untuk mengeprint berkas atau ke warnet.  Rumah ku yang berada diujung desa membuat aksesku sulit untuk mengakses internet saat itu.  Lelah?, ah ! jangan kau tanya lelahku teman, lelah hati, fikiran fisik jadi satu. Selesai itu aku masih harus bekerja. Mengajar 2 x satu minggu, menjadi pembina pramuka di hari minggu dan mencuci baju tetangga. Itu kulakukan sejak aku menjadi siswi baru di SMA.
Kenapa aku ingin kuliah?, kenapa aku tak kerja saja seperti teman yang lain?. Yah, karena aku mencintai pendidikan, aku senang sekolah. Di lingkunganku, kuliah adalah sesuatu hal yang tidak diperhitungkan. Orang orang kaya, tuan tuan tanah di desaku banyak mengirimkan anak anak nya bekerja di Bogor atau Tangerang setelah lulus SMA. Kuliah? Haha mereka selalu beranggapan jika kuliah hanya bisa dilakukan oleh orang orang kaya, kuliah hanya membuang buang waktu. “Lihat tuh si anu, kuliah lama lama, buang buang uang, eh ujung ujung nya bekerja jadi kacung juga”.
Kebayang, betapa kerasnya aku harus mencoba melawan stigma masyarakat disekitarku saat itu?. Ini sulit namun bukan berarti tak bisa. Karena benar adanya bahwa warisan yang paling baik adalah pendidikan. Sejak saat itu aku dan seorang teman menjadi siswa terakhir yang pulang dari sekolah, karena membantu miss juwita menginput data di dashbord sekolah.  Aku menemukan cara teman, bidik misi.  Satu program yang bisa menolongku dari beberapa kesulitan ini.
Aku harus menambah jam kerja, karena kebutuhan uang ku meningkat, print, warnet, ongkos angkot dan banyak lagi. Tak hanya mencuci baju, saat itu aku juga menyetrika baju. Ku tambah jumlah murid privatku. Aku harus mengajar 4 x dalam seminggu. Namun aku jatuh sakit tepat sebelum ujian nasional di mulai. Ah, badanku sudah mencapai batas.  Akhirnya ku tinggalkan semua pekerjaan itu. Beruntungnya aku telah menyelesaikan proses pendaftaran dan saat itu aku tinggal menunggu pengumuman. Sambil menjalani pengobatan aku mulai belajar menyiapkan ujian.
Pengumuman ujian tiba, dan aku mendapatkan peringkat umum ke tiga. Alhamdulillah. Ku kibaskan pengumuman itu dengan bangga. Ah, beruntungnya aku. Bersyukur sekali mendapatkan gelar itu. Untuk sesaat aku merenung. Saat ini aku sudah membuktikan satu hal pada mereka yang mencibirku. Kesibukan bekerja tak akan mengganggu nilaiku. Aku si anak miskin menjadi juara umum ke tiga di SMA terbaik di kecamatanku. Tinggal satu hal lagi yang ku tunggu. Pengumuman SNMPTN itu.
Bersama sahabatku sejak SMP aku membuka pengumuman.  Aku menangis keras saat tertulis lolos dalam form pendaftaranku.  Ah, anugerah Tuhan yang indah. Namun setelah euforia itu aku terdiam. Bagaimana aku memberi tahu ayah, bagaimana caraku mengumpulkan berkas untuk seleksi lanjutan. Namun kekhawatiranku hilang saat ayah tersenyum mendengar kabar ku diterima melalui bidik misi.
Aku mulai berjuang lagi mengumpulkan berkas berkas yang belum ada seperti surat penghasilan orang tua dan sebagainya.  Ayah menemaniku ke kantor kecamatan untuk membuatnya. Ia mengeluarkan sepeda tuanya, dan menyuruhku naik di sedel belakang. Sambil bercerita ia mengacuh sepeda memboncengkanku. Ia tak membiarkan ku turun saat jalanan menanjak, dan mendorong sepeda dengan aku tetap di sedel belakang. Lalu mengayuhnya lagi ketika jalanan mendatar.
Hari keberangkatanku tiba. Aku harus ke Bandar Lampung karena hari itu ada wawancara dan seleksi berkas. Uang? Aku bahkan hanya mengantungi 50 ribu. Aku tak berani meminta ayahku. Akhirnya aku tekadkan niat dan berangkat dengan uang itu di tangan.  Nenekku membawakan ku bekal, dalam hati aku bersyukur karena setidaknya aku tak harus membeli makan ketika menginap nanti. Namun Tuhan masih sangat baik padaku. Dipertemukannya lah aku dengan teman yang mau menampungku secara cuma cuma. Ia mentraktirku makan, dan menyediakan tempat untuk ku tidur sementara. Bahkan ia juga menawariku pekerjaan. Jakpot!!.
Aku semakin bahagia ketika namaku keluar diantara ratusan mahasiswa baru. Yah, aku resmi diterima di universitas lampung. Aku pulang dan memeluk ayahku saat itu. Kabar gembira itu ternyata menyebar cepat ke tetangga.  Beberapa dari mereka datang kerumah sekedar bertanya.  Kini ayah ku dengan bangga mengatakan iya. Tapi ternyata memang sudah kodrat manusia sepertinya. Beberapa dari mereka terlihat merendahkan sambil berkata. “emang kuat bayar sppnya, biaya kosnya, biaya hidupnya?”.
Ya Tuhan.
Ternyata ini belum selesai juga.
Salah aku mengikuti cibiran manusia. Karena hal seperti itu akan terus terus ada, namun dengan topik berbeda.
Sejak mendengar kalimat itu, aku dan ayah bertekad meninggal niat pembuktian. Karena hidup tidak hanya mendengarkan cibiran orang, terlalu berharga waktu ini jika niat kita hanya untuk sebuah pembuktian. Niat ku saat ini berubah. Aku ingin sekali mnularkan semangat belajar ini kepada semua orang, khususnya mereka yang memiliki kendala ekonomi. Karena keterbatasan bisa diolah menjadi sebuah kekuatan besar.

Bandar Lampung, 4 Semptember 2014.





Tidak ada komentar