Ketika Tekad Telah Membulat Part 1
sumber foto : http://www.gbi-bethel.org/miliki-tekad-yang-kuat/ |
Kalian pasti pernah mendengar kalimat “Man Jadda Wa Jada” di suatu tempat. Entah di buku, novel, di film, atau mendengarnya dari seseorang. Kalimat itu telah bergaung sejak beberapa tahun di Indonesia. Banyak di kenal orang awam dari film atau novel garapan A.Fuadi “Negeri 5 Menara”. Jikalau pun kalian tidak pernah mendengar kalimat itu, kalian tentu tahu film atau novel Laskar Pelangi garapan Andrea Hirata. Ada satu kalimat yang selalu aku ingat dari sana “Bermimpilah, maka Tuhan akan Memeluk Mimpi Mimpimu”. Kenapa aku menceritakan dua kalimat tersebut?, karena ceritaku berawal dari sana.
Dua kalimat itu adalah kalimat yang ku pajang di dinding kamar ku. Kalimat yang kutulis di setiap buku pelajaranku, dan kalimat yang selalu aku bisikkan setiap pagi. Darinya aku berani menulis 100 mimpiku dikertas dan menempelkannya. Aku sempatkan membaca dua kalimat sakti itu setiap pagi bersamaan dengan ku membaca surah almatsurat. Yah, apa salahnya bermimpi?. Perlu kalian ketahui. Aku lahir dari keluarga yang sangat biasa. Ayahku seorang buruh, yang bercerai dengan ibuku sejak aku berusia 2 tahun. Sejak itu aku tinggal bersama nenek dan kakek ku dari pihak ayahku. Susu? Aku jarang meminumnya. Nenekku menggantinya dengan air tajin (air rebusan beras) yang dicampur dengan gula merah setiap kali aku merengek ingin minum susu.
Dari situlah aku tumbuh dewasa, penuh dengan keprihatinan. Kalian tahu? Nenekku selalu membagi lauk yang kami punya menjadi 4 piring agar semua kebagian. Walaupun itu hanya tempe goreng. Nasi kami pun tak berwarna putih, tapi nasi kami berwarna hitam. Nasi dari singkong yang kami buat sendiri dengan proses panjang. Perlu di rendam berkali kali agar racun dari singkong itu hilang. Bersyukur, aku mendapatkan bantuan dana BOS saat SD dulu. Sehingga bisa membeli seragam baru saat seragamku yang lungsuran dari tetangga sudah sangat kumal.
Saat kelulusan, seorang guru mengajakku untuk tinggal bersama. Jadilah aku melanjutkan studi ku di ibu kota. Namun banyak hal yang tidak mengenakkan terjadi yang membuat aku harus pulang lagi ke desa ku ini. Adik ayahku lah yang mengurusi semua administrasi kepindahanku. Dari situ aku mulai kembali kehidupan awalku di desaku. Beruntung, karena nilai ku yang baik, SMP N di dekat rumah menerimaku, sehingga aku tidak perlu memusingkan biaya spp hingga lulus SMP.
Perjuangan ku sesungguhnya di mulai saat SMA. Keluarga ku mulai pusing dengan biaya masuk sekolah yang tidak sedikit. Saat itu aku sangat ingin masuk SMA Negeri, namun karena lokasi nya yang jauh keluarga kami mulai berdebat. Ayahku ingin memasukkan ku ke sekolah aliyah yang dekat dengan rumah. Namun oom dan tanteku berjanji untuk membantu uang transportasi ku. Jadilah aku mendaftar ke SMA Negeri 1 Sekampung. Aku diterima, dan ayah harus merelakan kambingnya dijual untuk biaya aku masuk SMA.
Uang transportasi hanya berjalan lancar sampai 2 bulan. Aku tak berani meminta ketika tidak diberi. Akhirnya aku memutar otak bagaimana agar tetap bisa kesekolah. Tak jarang aku harus menebalkan muka menebeng teman ku setiap hari tanpa ikut membayar uang bensin. Uang jajan? Aku jarang mendapat uang jajan teman, itu barang mahal. Beruntung, nenekku selalu membungkuskan nasi goreng dan air minum setiap pagi.
Tidak ada komentar